Jumat, 15 Juni 2012

Zen Buddhism

Buddhisme Zen


1.      Pengertian Zen
Zen merupakan salah satu ajaran Buddha di India, yang menyebar melalui Cina dan Korea. Banyak orang yang yang sulit mengertikan zen sesungguhnya. Zen yang diambil dari aksara Cina berarti “menunjukkan kesederhanaan”. Zen adalah ajaran yang jelas dan singkat. Ada juga yang berpendapat bahwa zen merupakan filosofi, dan bukanlah sebuah agama.
Menurut Suzuki, zen bukanlah filosofi karena pemikiran zen bukanlah berdsarkan pada logika dan analisis. Zen tidak pernah mengajarkan untuk berpikir secara intelektual dan menganalisis.
Zen memiliki tiga arti yang berbeda namun berkaitan. Chrismas humpeyrs dalam key kit, mengatakan bahwa:
Pertama, zen berarti meditasi. Zen adalah istilah Jepang mengungkapkan Bahasa Cina Chan, yang berarti ditelusuri berasal dari bahasa Sansekerta Dhyana. Kedua, dalam arti khusus zen adalah nama dari kekuatan absolut atau realitas tinggi yang tidak dapat disebutkan dengan kata-kata. Ketiga, dalam arti yang lebih khusus zen adalah pengalaman mistis akan keabsolutan kekuatan tersebut, suatu kesadaran tiba-tiba dan diluar batasan. Pengalaman mistis ini biasanya disebut kesadaran atau Wu dalam bahasa Cina dan Satori dalam bahasa Jepang.
Ketiga arti zen tersebut saling berkaitan. Meditasi, arti umum adalah cara utama untuk mendapatkan pengalaman langsung dengan realitas tertinggi, dan mungkin orang yang melaksanakan meditasi akan mengalami pemahaman realitas kosmis ini dalam situasi yang penuh inspirasi saat mengalami kesadaran spiritual.
Sehingga dapat dikatakan zen Biddhisme adalah sebuah aliran yang menekakan pentingnya meditasi dan mengkhususkan diri dalam hal itu. Zen yang mewakili puncak spiritualitas dalam agama Buddha adalah berintikan tentang transmisi jiwa ajaran Buddha yang bersifat istimewa.

2.      Sejarah Aliran Zen
Aliran Zen ini merupakan pecahan dari aliran Mahayana, yang memiliki arti perahu besar, maksud dari perahu besar adalah aliran Chan di Tiongkok yang dikenal di India dengan aliran Dhyana dan di Jepang dikenal dengan aliran Zen. Dhyana itu bermakna meditasi (Samadhi). Chan dan Zen itu perubahan bunyi dari Dhyana, menurut dialek Tiongkok dan dialek Jepang.
Ajaran Zen pertama kali dibawa ke Cina pada awal abad ke-6 oleh seorang pendeta India yang bernama Bodhidharma (470-543 M). Bodhidharma adalah seorang pendeta yang mengajarkan Buddhisme lewat metode meditasi. Sehingga, Bodhidharma dianggap sebagai peintis Zen.
Bodhidharma datang ke Tiongkok pada masa dinasti Liang (502-557 M). Sebenarnya ajaran Bodhidharma tidak menitik beratkan teori-teori, yang penting adalah pengertian dan intuisi dari seorang siswa yang timbul dalam batinnya sendiri di dalam usaha penghayatan terhadap Buddha Dharma di samping adanya ketekunan di dalam meditasi dengan banyaknya cerita mengenai kehebatan pendeta ini, maka banyak orang yang ingin berguru padanya.
Ada tiga jalan yang biasanya ditempuh dalam latihan Zen, yaitu ‘Zazen’ yang berarti meditasi duduk, yaitu sikap merenung yang mendalam dengan cara diam berjam-jam dan bahkan berhari-hari. Dilanjutkan dengan ‘Koan’ yang berarti konsentrasi akan suatu masalah tertentu. Selanjutnya sikap ‘Sanzen’, yaitu bimbingan mengenai soal-soal meditasi. Bila ketiga jalan ini dijalankan dengan baik, seseorang akan memasuki keadaan pencerahan’Satori’, yaitu suatu situasi santai yang baru sekali ini dirasakan, satori adalah suatu pengalaman intuisi, pengalaman mistik bahwa ia tidak lagi berpribadi (an-atta/an-atman).

3.      Aliran-aliran Buddhisme Zen
a.       Aliran Lin Chi, dikembangkan oleh master Lin Chi (kira-kira 850 M).
b.      Aliran Chau Tung,  dikembangkan oleh master Tung San Liang Chie (808-869 M) dan Chau San (840-901 M).
c.       Aliran Kuei Yang, dikembangkan oleh Kuei San (771-853 M) dan Yang San (807-883 M).
d.      Aliran Yun Men, dikembangkan oleh Yun Men (862-853 M).
e.       Aliran Fa Yen, dikembangkan oleh Fa Yen (8885-958 M).

Kelima aliran ini dilebur menjadi dua aliran, yakni Tsao Tung (Soto) dan Lin Chi (Rinzai). Aliran Soto menekankan pencapaian pencerahan melalui meditasi tenang pengosongan pikiran (kontemplasi), sedangkan aliran Rizai menekankan pencapaian pencerahan melalui meditasi yang diarahkan kepada aliran tertentu.

Aliran Nichien Shoshu


1.      Aliran Nichiren Shoshu
Nichiren Shoshu merupakan salah satu dari sekian banyak sekte dalam Agama Buddha Mahayana. Sekte tersebut muncul di Jepang yang didirikan oleh Nichiren Daishonin (1222-1282) sekitar abad ke-13 M, tepatnya pada 21 April 1253. Kemunculannya bertujuan untuk mengingkari sekaligus meluruskan kembali semua sekte lain yang muncul sebelumnya dan berkembang di Jepang (Zen/Cha’n, Amida, Nembutsu, dsb). menurut sebagian ahli, sekte ini adalah hasil dari sinkretisasi antara agama Buddha dan Sintho. Karena di dalamnya banyak dijumpai dewa-dewa yang disembah dalam agama Sintho. Di Jepang, sekte ini juga dikenal dengan nama Hokke-Shu atau sekte Sutra Teratai.

2.      Ajaran Dasar Nichiren Daishonin
Nichien Daishonin melakukan pembaharuan yang radikal terhadap ajaran-ajaran dari seluruh sekte yang ada, kecuali pada sekte Tendai, ia tidak menolak ajarannya secara keseluruhan. Karena alirannya memang baerdasar dari ajaran Buddha Sakyamuni melalui jalur sekte Tientai.
a.       Tiga Hukum Rahasia Agung (San dai hi ho), yakni dengan mengucapkan mantra Honmon no Daimoku, Honmon no Honzon (Gohonzon) dan Honmon no Kaidan.
b.      Filsafat Buddhisme Nichiren
-          Hubunga antara Budi dan Zat dalam jasad
-          Hubungan antara lingkungan dan jasad
-          Roh semesta
-          Cara melihat dunia
-          Ichinen-Sanzen, totalitas dari semua fenomena atau makrokosmos.

3.      Hari Besar
-          hari moksanya Sang Buddha Sakyamuni 15 Pebruari
-          hari lahirnya Nichiren Shonin’s 16 Pebruari.
-          Hari lahirnya Sang Buddha Sakyamuni
-          Pernyataan Pendirian Hukum Agung Nichiren
-          Pengasingan ke Semenanjung Izu
-          Penganiayaan Tatsunokuchi
-          Pengasingan ke Pulau Sado
-          Upacara Oeshiki
-          Penganiayaan Komatsubara

4.      Karya-karya Nichiren Daisonin
1.      Kanjin-no-Honzon, berisi tentang Ichiren-Senzen.
2.      Hokke-Shukyu—Sho, menerangkan tentang tiga hukum rahasia besar.
3.      Rissho Ankokuron, berisi tentang keamanan negara berdasarkan ajaran Buddha yang sejati.
4.      Ho on Syo, berisis tentang ajaran balas budi (ditujukan kepada gurunya yang dihormati, Bikkhu Dozenbo).

5.      Sejarah NSI di Indonesia
Nichiren Shoshu mulai berkembang luas di Jepang setelah Perang Dunia II dibawah penduduk tentara Amerika, yang membebaskan kehidupan beragama. Para penganut membentuk organisasi bernama Sokagakkai dan kemudian menjadi wadah dan motor penggerak penyiaran sekte ini.
Shintaro Noda adalah tokoh yang berperan dalam penyebaran dan menjadi pimpinan Nichiren Shoshu di Indonesia pada akhir tahun 1940 sampai awal tahun 1970-an dan secara organisatoris berafiliasi kepada Sokagakkai yang ada di Jepang dan kemudian hari membentuk Sokagakkai internasional. Namun pada tahun 1967 didirikanlah yayasan Nichiren Shoshu Indonesia (NSI), yang senenarnya dipimpin oleh seorang non-Nichiren, melaikan saudara sepupu dari seorang penganut Nichiren. Kondisi ini akhirnya menimbulkan kekacauan kepemimpinan karena pimpinan de facto Shintaro Noda yang berkewarganegaraan Jepang tidak dapat menjadi pemimpin secara formal. Akhirnya pada awal tahun 1970-an Shintaro Noda disingkirkan dari kepemimpinan, dan munculah pimpinan baru, Senosoenoto, suami dari Keiko Sakurai seorang anggota Sokagakkai.
Kemudian Senosoenoto berhasil mengajak kawannya, Soekarno-seorang menteri pada masa Orde Lama- menjadi penganut dan kemudian menjadi salah satu pucuk pimpinan NSI. Soekarno sangat aktif dalam organisasi agama Buddha di Indonesia. Ia juga mewakili NSI dalam mendirikan organisasi WALUBI . Soekarno meninggal pada tahun 1981.
Sejak akhir tahun 1970 sampai pertengahan tahun 1980, NSI berkembang dan mencapai puncak kejayaannya. Pada tahun 1986 muncul usulan dan tuntutan untuk membuat AD dan ART NSI. Draf AD ART disusun dan dibuat oleh 9 orang atas permintaan Senosoenoto, yang kemudian hari dikenal sebagai kelompok 9. Inisiatif kelompok 9 ini tidak terakomodasi, mereka disingkirkan, AD ART NSI tak kunjung terwujud, mereka lalu membuat yayasanVisistakaritra yang berorientasi pada Sangha Nichiren Shoshu pada tanggal 16 Februari 1987.
Sepeninggalan Senosoenoto, NSI terpecah menjadi dua karena adanya perbedaan pandangan mengenai siapa yang akan menjadi ketua umum berikutnya, antara kubu pendukung wakil ketua umum Johan Nataprawira dan kubu wakil ketua umum Keiko Senosoenoto. Akhirnya, terpilihlah Suhandi Sendjaja dari kubu Johan Nataprawira. Kemenangan tersebut ditentang oleh Sangha Nichiren Shoshu. Akibatnya Suhandi Sandjaja dikeluarkan dari NS dan organisasi NSI tidak diakui sebagai ormas penganut NS di Indonesia.
Kubu Keiko Senosoenoto mendirikan yayasan Pandita Sabha Buddha Dharma Indonesia (BDI), anak perempuannya, Aiko Senosoenoto diangakat menjadi ketua sampai sekarang ini. Sekitar tahun 2000, BDI bersama Sangha NS membentuk yayasan pendidikan Sangha NSI yang diketuai oleh Keiko Senosoenoto  dan Rusdy Rukmarata.  

Aliran Tantrayana, Mantyayana dan Vajrayana


1.      Aliran Tantrayana, Mantrayana dan Vajrayana
Secara umum ajaran Buddha terbagi dalam tiga aliran:
a.       Theravada/hinayana pencapaian tertinggi seorang Arahat.
b.      Mahayana pencapaian tertingginya menjadi seorang Bodhisatva.
c.       Tantrayana/vajrayana pencapaian tertingginya adalah menjadi seorang Buddha.
Vajrayana alias Tantrayana alias Mantrayana adalah sebuah sub sekte daripada Mahayana. Boleh dibilang, Tantrayana adalah aspek esoterik dari Buddhism, khususnya Mahayana. Yang mana seharusnya merupakan tahap akhir dalam perjalanan spiritual seorang Buddhist setelah sebelumnya menapaki Staviravada (Theravada), lalu kepada Mahayana tradisi Sutra, lalu berlanjut kepada Mahayana tradisi Tantra (Vajrayana).
Peristiwa terpenting yang terjadi di India pada periode ketiga (500-1000 M) adalah munculnya Tantra. Tantra adalah pencapaian pemikiran kreatif Buddha di India yang ketiga, tertinggi, dan terakhir. Perkembangan Tantra mengalami tiga tahap. Tahap pertama disebut Mantrayana, dimulai pada abad ke-4 dan mencapai kemajuan setelah tahun 500 M. Tahap ini memperkaya Buddha, melalui tradisi yang bersifat gaib, serta memanfaatkannya sebagai alat atau perlengkapan yang mempermudah mencapai tujuan Pencerahan. Dengan cara ini banyak mantra, mudra, mandala, dan makhluk-makhluk luhur baru diperkenalkan ke dalam agama Buddha walau belum secara sistematis. Setelah tahun 750, terjadi perkembanagn yang sistematis yang disebut Vajrayana, yang mengkoordinasikan ajaran-ajaran terdahulu dalam suatu kumpulan yang berisi Lima Tathagata. Dengan berlalunya waktu, kecenderungan-kecenderungan dan perkembangan sistem berikutnya memperbaharui penampilan mereka. Hal yang patut diperhatikan di antaranya adalah Sahajayana menekankan pula praktik-praktik meditasi dan pengembangan intuisi yang diajarkan melalui teka-teki, paradoks-paradoks, dan patung-patung, serta menghindari kemungkinan berubah menjadi sistem filasafat yang statis dengan mempertahankan ajaran-ajaran atau prinsip-prinsip yang tidak tegas. Menjelang akhir periode ini, pada abad kesepuluh, ada Kalacakra, “Roda Waktu” yang ditandai dengan luasnya sinkretisme berbagai aliran, dan penekanan pada astrologi.[1]
Gerakan baru ini timbul di Selatan dan Barat Laut India. Pengaruh-pengaruh non-India, yaitu dari Cina, Asia Tengah, dan daerah-daerah perbatasab di seitar India, memegang peranan penting dalam pembentukan gerakan ini. Juga banyak menyerap gagasan dari suku bangsa asli dari India sendiri. Tantra berusaha memberikan peranan terhormat kepada semua roh, bidadari, peri, makhluk halus, raksasa, dan hantu-hantu yang telah menghantui imajinasi penduduk, juga kepada perbuatan-perbuatan gaib yang tidak asing bagi penduduk pertanian maupun penduduk nomaden. Langkah lanjut untuk mempopulerkan agama ini, dimaksudkan untuk memberikan dasar yang lebih kuat di dalam masyarakat. Tetapi sepanjang menyangkut kepentingan kaum elit, ada perbedaan penting dimana non-Buddhis menggunakan ilmu gaib dalam rangka untuk memperoleh kekuasaan, sedangkan umat Buddha menggunakannya untuk membebaskan diri mereka sendiri dari kekuatan-kekuatan asing untuk menemukan jati diri.


A.    Aliran Tantrayana
Tantrayana adalah satu mazhab dalam agama Buddha yang sangat istimewa karena memiliki cirri-ciri khas yang unik. Mazhab ini berkembang pesat diantaranya negara India, China, Tibet, Jepang, Korea dan Asia Tenggara serta benua Eropa, Australia hingga benua Amerika. Mazhab ini merupakan perpaduan puja bhakti dengan praktek meditasi yogacara serta metafisika Madhyamika. Maka dari itu mazhab Tantrayana bukan hanya membicarakan teori, akan tetapi praktek dalam pelaksanaannya. Di dalam perkembangannya, mazhab ini kadangkala dinamakan Tantra-Vajrayana atau Tantra-Mahayana.
Menurut Dr. Pdt. HS. Rusli MA., PhD., pengertian istilah tantra ini pada mulanya berhubungan dengan kata dalam bahasa sanskerta Prabandha yang berarti "hubungan kelestarian yang tiada putus-putusnya". Pada mulanya tanggapan orang memandang tantra banyak menimbulkan pikiran yang salah. Sebenarnya perkataan tantra diperkenalkan pada publik di dunia Barat pada tahun 1799, yakni pada saat literatur-literatur mengenai mazhab Tantrayana ini diketemukan oleh misionaris Eropa di India.
Menurut dr. W. Kumara D. yang dikutip dari literatur-literatur mazhab Tantrayana, kata tantra itu sendiri dapat juga berarti Sadhana (sarana mengerjakan). Mazhab Tantrayana memiliki akar-akar pandanga yang sama dengan Mahayana khususnya Yogacara. Namun demikian, Tantrayana memiliki perbedaan dengan Mahayana dalam hal tujuan,wujud manusia yang telah mencapai tujuan tantrayana dan cara pengajarannya.
Para misionaris Barat sangat kagum setelah mempelajari mazhab tantrayana, karena terdapat konsepsi maupun ide-ide religi serta filsafat yang sangat kenal, berlainan dengan konsepsi maupun ide yang mereka kenal sebelumnya.
Tantra Timur adalah tantra yang berkembang di daratan China dikenal sejak abad IV Masehi,setelah Srimitra yang berasal dari Kucha (sekarang Xinqiang-China) berhasil menerjemahkan sebuah kitab Tantrayana yang berisi mantra-mantra, pengobatan, doa pemberkahan dan ilmu gaib lainnya. Hal tersebut sesungguhnya belum mencerminkan nilai-nilai agung dari aliran Tantrayana itu sendiri, kata Mr. Chauming. Tantra Timur bercorak perfeksionis dimana semua rupang Buddha maupun Bodhisattva serta vajrasatva baik yang bersifat maskulin dan feminim, lebih menunjukkan kesempurnaan, keagungan yang sesuai dengan sopan santun yang ada pada masyarakat China.
Tantra Timur berkembang di China pada abad VII, ketika dikunjungi oleh tiga orang Maha Acharya Tantrayana dari India, yakni:
1.      Subhakarsinha (637-735M), beliau tiba di Ch'an An setelah belajar di Nalanda (India) pada tahun 716 M. Kemudian bersama-sama dengan I Ching menerjemahkan Sutra Tantra yang terkenal, yakni Maha Vairocana Sutra pada tahun 725 M.
2.      Vajra Bodhi (663-725M), beliau juga pernah belajar di Nalanda (India) dan kemudian menerjemahkan Vajrasakhara pada tahun 720 M.
3.      Amoghavajra (705-784 M), beliau adalah siswa dari Vajrabodhi yang tiba di Ch'an pada tahun 756 M.
Selanjutnya,perkembangan mazhab Tantrayana di China sangat pesat selama lebih kurang tiga abad, antara abad V hingga abad VIII Masehi. Selama tiga abad tersebut, berkembang delapan aliran besar di China, yakni:
1.      Lu-Tsung (Vinayavada), didirikan oleh Tao-hsuan (595-667 Masehi).
2.      San Lun Tsung (Madhyamika), didirikan oleh Chi-Tsang (549-623 M).
3.      Wei Shih Tsung (Yogacara) didirikan oleh Huan Tsang (596-664 M).
4.      Mi-Tsung (Tantrayana), didirikan oleh Amoghavajra (705-784 M).
5.      Hua Ten Tsung (Avatamsaka), didirikan oleh Tu Hsun (557-640 M).
6.      Tien Tai Tsung, didirikan oleh Chih K'ai (538-597 Masehi).
7.      Chin Thu Tsung (Amida/Pure Land). Didirikan oleh Shan Tao (613-681 Masehi).
8.      Ch'an (Zen), didirikan oleh Bodhidharma sekitar tahun 500.

Kalau Tantra Barat adalah tantra yang berkembang di Tibet dan sekitar pegunungan Himalaya batas antara China dan India, yang sebenarnya hanya dalam letak geografis saja. Daerah ini memiliki tradisi dan sejenis kepercayaan yang disebut Bon-Pa. Dan orang-orang Tibet umumnya memiliki kemampuan untuk menguasai roh-roh halus. Di samping symbol dari jenis rupang Buddha sedikit ada perbedaan. Bila dilihat Tantra Barat lebih bercorak naturalis terlihat jelas pada anggota tubuhnya, yakni bersifat feminisme (dalam bentuk wanita). Terdapat pula rupang angkara murka, seperti Angry Vajra (Vajravarahi dalam wajah murka).
Pandangan Dr. Pdt. Rusli PhD, para misionaris Buddhis pada awal kedatangannya di Tibet, banyak menghadapi kendala dan kurang mendapat sambutan dari penduduk Tibet. Bahkan kehadiran misionaris di Tibet merupakan ancaman bagi dukun-dukkun Bon Pa, oleh karena itu para misionaris Buddhis mengalami kendala dan tak jarang banyak korban kena ilmu magis` terjadi pada misionaris.
Pada tahun 747 masehi, Maha Guru Padma Sambhava menjalankan misi ke Tibet. Beliau pada masa mudanya adalah seorang pangeran dan sangat menyenangi hal-hal yang bersifat magis. Beliau memiliki kemampuan supranatural yang dipadukan dengan ajaran-ajaran Hyang Buddha. Berkat kemampuan beliaulah, dukun-dukun Tibet dapat ditundukkan dan memperoleh simpati dari bangsa Tibet.
Tantrayana di Tibet berkembang hingga menjadi tiga periode. Yakni periode pertengahan dan pembaharuan serta periode permulaan gelar Dalai Lama (dari abad XVII hingga sekarang ini).
Mazhab Tantrayana,baik Tantra Barat maupun Tantra Timur disebut esoterik (rahasia/tersembunyi), karena dalam penyebarannya tidaklah bersifat terbuka. Tantra diajarkan oleh seorang guru pada siswanya setelah melalui upacara-upacara ritual dan berbagai bentuk ujian.[2]

Ø  Kitab Suci Mazhab Tantrayana di Tibet
Mazhab Tantrayana di Tibet memiliki naskah terjemahan kitab suci yang kebanyakan berasal dari India dan terdiri lebih dari 4.566 naskah. Kumpulan naskah dalam bahasa Tibet tersebut digolongkan dalamdua bagian, masing-masing :
Bkahgyur(dibaca Kanjur) yang sebahagian besar adalah terjemahan dari bahasa Sanskerta dan sebahagian kecil terjemahan dari bahasa mandarin, terdiri dari 3.458 naskah serta dihimpun dalam tiga bagian, yakni :
1.      Dulva (Vinaya), terdiri dari 13 bagian, merupakan peraturan-peraturan,disiplin, tata tertib untuk anggota Sangha.
2.      Do (Sutra), terdiri dari 66 bagian yang mencatat ajaran Hyang Buddha, seperti halnya dalamsutra-sutra canon pali dan sutta-sutta kanon sanskerta dan selalu diawali dengan "Demikianlah yang saya dengar".
3.      Chon non pa (Abhidhamma), terdiri dari 21 bagian yang merupakan pelajaran filsafat dan pembahasan dari ajaran Hyang/Sang Buddha.
Bstanghyur (dibaca Tanjur), merupakan pembahasan atau komentar (tafsir) yang dihimpun dalam dua kitab :
1.      Tantra (Rgyud), terdiri dari 22 bagian yang berisi doa-doa,dharani-dharani, mudra, mandala dan lain-lainnya.
2.      Sutra, merupakan pembahasan atau komentar (tafsir) dari Do (sutra).[3]
Tantra terpisah dari Mahayana dalam hal pendefinisian tujuan dan tipe manusia ideal dan juga dalam cara pengejaran. Tujuannya masih sama, yaitu Kebuddhaan, walaupun tidak lagi terjadi di masa depan, berkalpa-kelpa kemudia, tetapi saat ini, “dengan tubuh ini”, “dalam satu piiran” yang diperoleh secara ajaib dengan cara-cara yang baru, cepat, dan mudah. Orang suci yang ideal sekarang adalah Siddha atau ahli mukjizat, walaupun agak mirip dengan Bodhisattwa yang telah melewati tahap kedelapan dengan kekuatan-kekuatannya yang ajaib dan berkembang sempurna.
Tantra itu mewakili di antara sekte-sekte Mahayana, panca indera mengenai semangat, secara tradisi ditegaskan sebagai terdiri dari perawatan dan hasil dari yang bermanfaat, dan menghapuskan serta gangguan dari yang tidak bermanfaat, keadaan mengenai pikiran. Dengan keadaan bermanfaat dari Jhana, atau Dhyana, pikiran yang terutama dimaksudkan. Maka dari itu kepentingan yang didominasi Tantra bukanlah teori tetapi praktek.
Tantra, walaupun secara jelas menggabungkan doktrin dari sekte-sekte yang lebih dahulu, berbeda secara radikal dari mereka semuanya di dalam mengenai bukan dengan perluasan teori yang lebih lanjut dari doktrin-doktrin ini, tapi dengan penerapan metode menuju pada realisasi realitas dari mana mereka adanya namun simbol konseptual. Jadi Tantra memiliki sebegitu banyak pada bidang menguasai doktrin sebagaimana pada bidang menguasai metode. Tradisi-tradisi Buddhist yang ada diterima sebagaimana adanya, asalkan bukan sebagai suatu titik awal untuk tindakan. Lebih daripada setiap sekte lainnya, Tantra mewakili segi latihan mengenai Buddhism, dan karena alasan ini, jadi Dr. Herbest V. Guenter sangat menekankan,[4]

‘Itulah di dalam Tantra bahwa Buddhism menemukan kemekaran dan peremajaan lagi yang konstan’.

Tetapi walaupun Tantra berarti tindakan, dan karenanya untuk kekuatan di dalam semua modenya, itu tidak berarti tindakan secara umum, yang akan lebih baik dimiliki hanya aktivitas, tapi terutama untuk ritual atau perbuatan sakral. Di dalam prinsip ringan yang fundamental ini, dasar ‘kebenaran bagi eksistensi’ lebih dari penekanan Tantra dengan ciri-cirinya secara jelas diperlihatkan.
Pentingnya aspek dan tradisi yang permulaan di mana memberikan dasar teori yang paling dekat mengenai kesakramenan Tantra; dikarenakan, sebagaiman Conze mengamati secara dekat;
‘jikalau Tantra mengharapkan keselamatan dari perbuatan suci, itu haruslah mempunyai suatu konsepsi mengenai Alam Semesta yang menurut perbuatan seperti itu dapatlah pada pengangkatan pembebasan’.
Jikalau realitas transendental menunjukkan Aksobhya, misalnya, sungguh-sungguh ada, itu haruslah memungkinkan untuk menempatkan Dia pada suatu tempat yang penting di dalam setiap bentuk mengenai kehidupan fenomena dan aktivitas. Bukanlah itu, walaupun dikatakan Bulan itu dipantulkan sebuah kolam air, tidak dipantulkan dalam keseluruhan kolam itu, tapi hanya dalam satu bagian penting darinya. Untuk mengetahui bahwa Akshobhya dipantulkan dalam dunia fenomena tidaklah cukup. Dunia itu terdiri dari lima skandha. Salah satu dari mereka itu haruslah pentulan aksobhya. Karena pengertian harfiah dari Aksobhya adalah ‘Yang Tenang Sekali’. Tantra mengenali Aksobhya dengar Vijnanaskandha atau kumpulan dari kesadaran. Pada prinsip ini Tantra membangun sistem dalam Buddha, Bodhisattva dan Dewa yang tidak terhitung semua mewakili baik aspek yang berbeda mengenai Realitas atau tingkatan yang berbeda mengenai Jalan Transendental, dihubungkan tidak hanya dengan suatu kumpulan (skandha) dari milik mereka, tapi juga dengan suatu kumpulan yang penting ‘mantra, mudra, unsur (elemen), arah, hewan, warna, indera-perasaan, bagian dari tubuh dan sebagainya.[5]
Tantra adalah lebih sulit untuk memberikan suatu penjelasan daripada sekte lainnya dalam Buddhisme. Alasannya ialah kedua-duanya mengenai ajaran bagi internal dan eksternal. Untuk memulai dengan Tantra ialah bukan dengan penyamarataan teori tapi dengan latihan yang teratur dan mendalam, karena mengenai suatu tingkat yang lebih tinggi bukanlah eksoterik melainkan esoterik, yang selama berabad-abad dijaga secara bersama-sama dengan cara tradisi lisan dan dengan hati-hati melindungi dari keinginan-keinginan yang kotor.[6]
Pada jaman sekarang, Tantrayana lebih dikenal berasal dari Tibet.
Sehingga orang awam berpendapat bahwa Tantrayana adalah agama Buddha Tibet,dan bersumber dari kepercayaan dan "rekayasa/ciptaan" bangsa Tibet.
Hal ini tidaklah mengherankan, karena hanya di Tibet, Bhutan, Nepal, Ladakh, India dan Mongolialah Tantra tetap eksis dan bertahan sampai sekarang, terutama sekali di Tibet.

Ø  Identitas Tantrayana di Tibet
Identitas mazhab Tantrayana di Tibet dapat diuraikan sebagai berikut :
a.       matra atau ukuran yang dikenal sebagai silsilah turun-temurun (lineage). Silsilah turunan utama tersebut meliputi para Guru yang diawali dengan Sang Buddha, para acharya yang berasal dari India sampai dengan guru dari Tibet pada masa-masa sekarang ini, yang telah memberikan / menurunkan ajaran Tantrayana baik secara metode lisan maupun tulisan menurut tradisi turun-temurun.
b.      Faktor yang lain adalah kelompok ajaran secara lisan dan tulisan yang dihasilkan oleh para anggota daripada silsilah turun temurun (lineage) tersebut, termasuk uraian, karangan, komentar, tafsiran, ulasan, tekstual yang mengandung unsur ritual dan sebagainya.
c.       Sekte sekte dikenal pula dengan cara latihan masing-masing yang khas dan unik. Misalnya sekte Kar-gyu-pa menitik beratkan meditasi, yang umumnya disebut tradisi meditasi atau samadhi. Sedangkan sekte Kah-dam-pa ataupun sekte Ge-lup-pa dikenal memiliki tradisi disiplin intelektual.
d.      Faktor lain yang menonjol dan menarik perhatian adalah gabungan biara/ monastery tempat para Lama/Bhiksu yang berfungsi sebagai tempat belajar serta tempat latihan religi. Biasanya suatu biara merupakan markas besar yang resmi bagi satu sekte sambil dijadikan sebagai suatu contoh atau model bagi yang lainnya. Setiap sekte besar memiliki banyak biara. Sedang sekte yang kecil hanya memiliki satu atau dua biara saja.
e.       Setiap sekte juga dikenali dengan memimpin spiritual yang berkedudukan tinggi, biasanya disebut "Tulku".

Ø  Sekte-sekte Tantrayana yang utama di Tibet
1.      Sekte nim-ma-pa (sekte jubah merah/ancient red sect)
Anggota sekte ini selalu memakai jubah dan topi merah. Mereka merupakan keturunan dari garis silsilah (lineage) dari maha guru Padma sambhava.
Mereka menjalankan ajaran esoteric (ajaran rahasia). Ajaran dan interpretasi sekte ini merupakan penggabungan dari Buddha Dharma dan Bon-pa. Dan di dalam prakteknya mereka tidak hanya merupakan jalan pikiran yang rasional, namun juga memerlukan inspirasi guna menguasai:
·         Dasar permulaan ajaran di transfer langsung dari para acarya India
·         Mempertahankan tradisi teks-teks kuno yang disimpan / dipendam dalam bumi (tanah) seperti Kitab Bardo Thodol.
2.      Sekte Kah-dam-pa
Sekte ini dipelopori oleh Atissa Srinyana Dipankara pada tahun 1042 masehi. Atissa pada tahun 1012 pernah mengunjungi Sriwijaya dan berguru pada Maha Acarya Dharmapala selama duabelas tahun, Atissa kembali ke Tibet pada tahun 1042. Beliau wafat tigabelas tahun, kemudian perkembangannya dikemudian hari sekte ini bergabung denga Ge-lug-pa.
3.      Sekte Ge-lug-pa (Sekte jubah kuning)
Anggota sekte ini mengenakan jubah berwarna kuning. Sekte ini merupakan pembaharuan dari sekte Kah-dam-pa dan dipelopori oleh Tzong-ka-pa pada abad XV.
4.      Sekte Kar-gyu-pa
Sekte ini didirikan oleh Lama Marpa pada abad XI. Garis silsilah (lineage) sekte ini diawali dengan Buddha Vajradhara (symbol Penerangan Agung). Para siswa sekte ini dalam pelaksanaan latihan religi dan upacara ritualnya wajib memandang gurunya sebagai Vajradhara, supaya dapat lebih mendekatkan diri pada Sang Buddha, sambil menjamin keberhasilan hubungan erat antara guru dan murid. Salah seorang siswa Marpa yang terkenal adalah Milarepa, yang juga dikenal sebagai filsuf dan penyair terkenal dari Tibet.

B.     Aliran Mantrayana
Bahwa Mahayana lambat laun menujun ke arah jalan kelepasan yang lain daripada yang ditawarkan oleh Buddha semula. Maka dengan jelas orang mulai merumuskan berbagai jalan kelepasan, seperti yang diperkembangkan juga oleh agama Hindu.[7]
Pada mulanya perkembangan Mantrayana ini merupakan reaksi alami terhadap tren sejarah yang makin tidak sesuai dan mengancam kepunahan agama Buddha India. Untuk mempertahankan dan melindungi diri, penganut-penganutnya semakin banyak menggunakan kekuatan mukjizat dan meminta pertolongan dari makhluk-makhluk luhur, yang keberadaan sebenarnya telah dibuktikan oleh mereka sendiri melalui pelaksanaan meditasi trans. Di antara ini, perhatian besar ditunjukkan kepada makhluk luhur berpenampilan menyeramkan, seperti “Pelindung Dharma”, yang disebut juga vidyaraja, “raja adat dan pengetahuan yang suci” yang bermaksud baik tetapi menampilkan wajah yang megerikan untuk melindungi orang yang percaya. Menarik juga untuk dicatat bahwa utuk mendapatkan perlindungan, umat Buddha pada masa itu mengandalkan makhluk-makhluk luhur feminin. Sekitar tahun 400 M, Tara dan Prajnaparamita dipuja sebagai Bodhisattwa Kosmis.[8]
Di dalam abad ketujuh timbul lagi suatu jalan yang ketiga yang disebut Mantrayana atau jalan dengan kalimat-kalimat yang mempunyai daya gaib (mantra). Nama-nama lainnya yang dipakai ialah Tantrisme, karena pandangan-pandangan mengenai jalan ini dicantumkan dalam Tantra-tantra; dan Vajrayana atau jalan intan, perjalanan intan, ialah yang keras dan tak terbinasakan, yaitu kenyataan yang tertinggi.[9]
Menurut namanya, maka aliran ini mencari alat gaib teristimewa di dalam mantra, kalimat yang berkekuatan gaib. Tetapi selanjutnya, gambaran-gambaran (mandala) dan perbuatan-perbuatan upacara keagamaan, di mana sikap tangan (mudra) sangat penting memainkan peranan juga. Juga pertarakan  dan yoga di sini mendapat tempat pula, seperti pendapat yang kita jumpai di dalam zaman yang jauh lebih tua lagi di dalam agama Buddha, bahwa manusia yang mebuat kemajuan-kemajuan di jalan yang menuju kepada pengertian yang mendalam, mendapat kekuatan-kekuatan yang istimewa pula.
Shadaka, ialah orang yang menjalankan perbuatan-perbuatan magis, atau sebenarnya orang yang berusaha ke arah tujuannya, menghubungkan dirinya sendiri dengan alat-alat magis (mantra, mudra) ke dalam keseluruhan tenaga-tenaga kosmis dan mengekang serta menguasainya.
Hal ini berarti bahwa dalam setiap usaha untuk membentuk suatu Mandala haruslah memiliki suatu nilai praktis yang mempengaruhi prilaku perseorangan (carya). Mantrayana ini juga memiliki sikap yang tegar menentang segala bentuk khayalan dan menumbuhkan bodhi sebagai lawan dari nirodha. Kesemua hal ini, dilaksanakan untuk mencapai langkah terakhir yakni guru yoga sebagai sarana kekuatan untuk mengatasi diri seseorang.
Dalam pengertian yang dalam dapat dikatakan, bahwa guru yoga adalah kenyataan itu sendiri yang dapat kita saksikan dan berada dimana-mana. Namun tanpa bimbingan seorang guru (manusia) yang telah mempraktekkan yoga dan mampu membimbing siswanya dalam menempuh halangan-halangan yang sulit.
Istilah Mantrayana kelihatannya telah menerima aslinya pada keperluan khusus bahwa cabang Mahayana yang menganjurkan pembacaan ulang mengenai mantra sebagai usaha prinsip mengenai paramita. Menurut Shashi Bhusan Dasgupta: ‘Mantrayana adalah sekte dari Mahayana’, kelihatannya adalah tingkat perkenalan mengenai Buddhisme Tantra dari semua cabang mengenai Vajrayana, Kalacakrayana, Sahajayana, dan seterusnya yang timbul dikemudian hari.
Meskipun demikian, sebagai keadaan hal yang sebenarnya dengan cabang-cabang Tantra Cina dan Jepang, istilah Mantrayana berlanjut di dalam penggunaan sebagai suatu petunjuk kolektif tidak hanya untuk memperkenalkan tapi juga untuk tingkat lebih lanjut dari gerakan Tantra, dan seperti itu dari satu waktu dipakai sampai dengan sekarang.

C.    Aliran Vajrayana
Berasal dari kosa kata Sanskrit "Vajra" yang berarti berlian dalam aspek kekuatannya, atau halilintar dalam aspek kedahsyatan dan kecepatannya. Serta dari kata "yana" yang berarti wahana/kereta. Menurut Wang Shifu, Vajrayana merupakan Jalan Intan. Kata "Tantra" sendiri berarti "Tenun" dalam bahasa Sansekerta, merujuk kepada prakteknya yang bertahap namun pasti.
Vajrayana adalah suatu ajaran Buddha yang di Indonesia lebih sering dikenal dengan nama Tantra atau Tantrayana. Namun banyak juga istilah lain yang digunakan, seperti misalnya: mantrayana, ajaran mantra rahasia, ajaran Buddha eksoterik. Vajrayana adalah merupakan ajaran yang berkembang dari ajaran Buddha Mahayana, dan berbeda dalam hal praktek, bukan dalam hal filosofi. Dalam ajaran Vajrayana, latihan meditasi sering dibarengi dengan visualisasi.[10]
Adapun tujuan akhir daripada Vajrayana, ialah mencapai kesempurnaan dalam pencerahan dengan tubuh fisik kita saat ini, di kehidupan ini juga, tanpa harus menunggu hingga kalpa-kalpa yang tak terhitung. Oleh karena tujuan akhir inilah, di dalam Vajrayana ditemui metode-metode esoterik yang dengan cepat bisa membawa kita kesana.
Ajaran Vajrayana secara umum di berbagai negara lebih dikenal sebagai ajaran agama Buddha Tibet, yang merupakan bagian dari Mahayana dan diajarkan langsung oleh Buddha Sakyamuni yang amat cocok untuk di praktikkan oleh umat perumah tangga, umat yang hidup sendiri (tidak menikah), ataupun umat yang memutuskan untuk hidup sebagai bhiksu di vihara Vajrayana.
Menurut catatan, banyak sekali praktisi tinggi Vajrayana yang memiliki kemampuan (siddhi) yang luar biasa, misalnya: menghidupkan kembali ikan yang telah dimakan (Tilopa), terbang di angkasa (Milarepa), membalikkan arus sungai gangga (Biwarpa), menahan matahari selama beberapa hari (Virupa), mencapai tubuh pelangi (tubuh hilang tanpa bekas, hanya meninggalkan kuku dan rambut sebagai bukti), berlari melebihi kecepatan kuda, merubah batu jadi emas atau air jadi anggur, memindahkan kesadaran seseorang ke alam suci Sukavati (yang dikenal dengan istilah phowa), dapat meramalkan secara tepat waktu serta tempat kematian & kalahirannya kembali (H.H. Karmapa), lidah dan jantung yang tidak terbakar ketika di kremasi, terdapat banyaknya relik dari sisa kremasi, dll. Di dalam Vajrayana, semua hasil yang diperoleh dari latihan itu, haruslah disimpan serapi mungkin, bukan untuk di ceritakan pada orang lain. Sebagai pengecualian, boleh mendiskusikan hal tersebut dengan Guru, jika memang ada hal yang kurang mengerti.
Dalam ajaran Vajrayana, sekte menjadi penting karena merupakan sebuah identitas. Ini adalah sekilas informasi tentang sekte-sekte besar yang mempunyai tradisi ciri khasnya masing-masing :
§  Sekte Gelugpa: pendirinya adalah Tsongkhapa (1357-1419) lebih menekankan kepada disiplin intelektual, karenanya para Bhiksu dari Gelug amatlah pandai dalam pembahasan Metafisika, filsafat, dll. Pusaka ajaran yang terkenal dari tradisi ini adalah Krama Marga alias Lam Rim (Jalan dan Tahap). Tradisi ini didirikan oleh Je Tsongkhapa, dengan Kadampa sebagai pendahulu Gelug, yang mana Kadampa ini didirikan oleh seorang Maha Guru India, yaitu Atisha Dipamkara.
§  Sekte Skayapa: Kunchong Gyalpo (1034-1102) terkenal dengan naskah-naskah autentiknya, pusaka ajaran dari tradisi ini adalah Lam Dray (Jalan dan Hasil). Tradisi ini berawal dari Sakya Shri Bhadra dari India, yang merupakan pemegang tahta terakhir dari Institut Buddhist Nalanda yang mengungsi ke Tibet pada saat invasi dari Moch.Bhaktiar Khalji, juga oleh beberapa Lotsava agung yg disebutkan oleh Vince Delusion sebelumnya.
§  Sekte Kagyudpa: (Dagpo Kagyud) didirikan oleh Gampopa (1079-1133). terkenal sebagai tradisi Meditatif, lebih menekankan kepada metode-metode Yoga-nya. Pusaka ajaran dari tradisi ini adalah Maha Mudra, yang meliputi Enam Yoga Naropa (tib.Naro Cho Drug ; skt.Saddharmopadesa), serta metode-metode esoterik lain yang menyertainya dari awal sampai akhir, juga pendidikan Shedras selama 12 tahun yang diikuti dengan retreat Maha Mudra di dalam ruang tertutup selama 3 tahun 3 bulan 3 hari merupakan ke-khas-an tersendiri dalam tradisi Kagyu. [11]
§  Sekte Nyingmapa: Dikenal sebagai tradisi non-Monastic. Terkenal dengan pusaka Terma nya,serta ajaran-ajaran esoterik langka di masa lampau. Ciri khas utama ajaran dari tradisi ini adalah Dzogchen (Maha Sandhi). Tradisi ini berawal dari Vajra Guru Padmasambhava (Lian Hua Sheng Da Shi) lebih kurang 700 M.[12]


3.      Ritual dan Praktek
Ø  Tantrayana
Jalan Tantra berusaha untuk mengubah nafsu manusia dasar keinginan dan kemalasan dalam pertumbuhan rohani dan pembangunan. Jadi, bukannya menyangkal primal seksual dan sensual mendesak seperti dalam agama Buddha tradisional, praktek Tantra menerima ini mendesak kehidupan sebagai suci energi kekuatan, yang dimurnikan dan berubah menjadi kekuatan sehat dan sehat menghubungkan individu dengan kesadaran spiritual yang lebih tinggi. Untuk menjadi sukses dengan kerja Tantra, seseorang harus memiliki keterampilan dalam kontrol diri dan penerimaan diri dan orang lain.
Tindakan atau perbuatan itu ada 3 macam, yakni: tubuh, vokal, dan mental. Pikiran atau perbuatan mental, darimana pikiran yang dikonsentrasikan ialah keserbaragaman yang paling manjur, menentukan ucapan dan tindakan yang mempengaruhi pikiran. Perbuatan sakral dari Tantra bertujuan menghasilkan suatu transformasi mengenai kesadaran dengan usaha dari (secara spiritual) suara dan gerakan yang sangat mempunyai arti secara spiritual.
Dengan suara yang sangat mempunyai arti secara spiritual dengan berbagai ‘dharani atau mantra’ yang disebabkan oleh akibat yang sangat besar pengulangan yang konstan ada pada pikiran, menduduki di dalam Buddism Tantra suatu posisi yang sangat penting. Gerakan yang sangat mempunyai arti itu secara spiritual mencakup semuanya yang diperbuat oleh sebagian tubuh, seperti mudra yang dilakukan oleh tangan, dan yang diperbuat mengenai sembah dan tari. Karena ritual dan perbuatan sakral dapat dibentuk hanya dengan tubuh. Tantra jauh dari menurunkan tubuh menyambutnya sebagai kapal keselamatan dan memujanya dengan suatu ekstent yang tidak terdengar dari dalam setiap bentuk lain Buddism. Lebih dari itu, tidak hanya bagian tubuh dari alam semesta material, tapi banyak obyek material dikerjakan untuk tujuan sakramen; karena itu Tantra menganggap dunia itu juga bukan sebagai suatu rintangan tapi sebagai suatu bantuan Penerangan, memuliakannya sebagai gambar hidup dari keselamatan dan wahyu dari Yang Absolut. Sebagai ganti mengorbankan dunia itu seseorang harus hidup di dalamnya, di dalam suatu jalan seperti itu bahwa kehidupan dunia sendirinya diubah ke dalam kehidupan transendental.
Menurut pandangan Tantra, menanamkan tubuh itu dengan kesucian adalah kemungkinan dari tindakan manusia pada pikiran bukan hanya oleh gerakan anggota tubuh tapi dengan memainkan pernafasan dan air mani, semuanya dihubungkan secara intim bahwa dengan mengendalikan setiap salah satu dari semua itu dan sisanya yang dua itu dikendalikan secara otomatis. Lagi, dihubungkan tidak sebanyak dengan perumusan filsafat yang luas daripada dengan notulen yang mendetail mengenai latihan spiritual, aspek-aspek tertentu yang terlalu kompleks, sulit, dan sedikit untuk disetujui dengan tulisan. Tantra tentu saja sangat menegaskan perlunya menerima inisiasi atau upacara dan petunjuk dari sorang guru spiritual yang ahli.[13]

Ø  Mantrayana
Pokok-pokok ajaran Mantrayana dapat ditemui pada karya karya padma-dkarpo dari Tibet. Menurut beliau, tujuan dari Mantrayana adalah sama seperti apa yang dituju oleh aliran-aliran lainnya dalam agama Buddha, yakni kemanunggalan manusia dengan penerangan sempurna atau kesempurnaan secara spiritual.
Langkah pertama untuk mencapai tujuan tersebut menurut konsepsi Mantrayana adalah mengambil perlindungan serta mempersiapkan diri dengan berpedoman pada Bodhicitta, yang berarti fondasi dari segala macam kebaikan, sumber dari segala usaha kebahagiaan dan sumber dari kesucian. Bodhicitta biasanya terbagi menjadi dua bagian, yakni :
1.      Bodhi pranidhi citta : Tingkat persiapan untuk pencapaian kebuddhaan.
2.      Bodhi prasthana citta :Tingkat pelaksanaan sesungguhnya dalam usaha menuju cita-cita.

Bodhicitta adalah sebagai suatu sarana bagi setiap umat Buddha untuk mencapai tujuannya. Perlindungan tersebut meliputi perlindungan pada Sang Triratna. Dalam hal ini, Mantrayana memandang Sang Triratna bukanlah hanya sekedar pengertian harfiah, melainkan sebagai kekuatan spiritual yang disimbolkan oleh Triratna tersebut.
Sikap perlindungan yang demikian itu mempunyai kaitan yang sangat erat dengan keteguhan hati. Keteguhan hati ini berfungsi untuk menguak tabir rahasia untuk mencapai penerangan sempurna. Dan selanjutnya akan menumbuhkan perubahan sikap, membawa si siswa untuk mulai melihat keadaan sesungguhnya tentang 'diri' dan alam sekitarnya.
Tahapan selanjutnya yang harus dilaksanakan adalah memperkuat dan memajukan sikap baru yang diperoleh dari meditasi dengan membaca mantra berulang-ulang. Mantra adalah kata dalam bahasa sansekerta yang berarti pesona. Mantra adalah satu suku kata yang berfungsi sebagai 'suatu pelindung pikiran' yang mengandung kekuatan magis dan melambangkan Triratna (Buddha-Dharma-Sangha) ataupun makhluk-makhluk agung lainnya. Mantra juga merupakan formula untuk memelihara agar pikiran tetap terkonsentrasi, tidak melayang-layang tak menentu.
Langkah berikutnya adalah mempersembahkan suatu Mandala (gambar-gambar indah yang mengandung arti filosofis) sebagai sarana untuk menyempurnakan pengetahuan pengetahuan yang telah dicapainya. Setiap langkah dalam mempersiapkan Mandala ini haruslah selalu berhubungan dengan Sad Paramita (enam perbuatan yang luhur) maupun Catur Paramita (Brahma Vihara=empat keadaan batin yang luhur). Sad Paramita terdiri dari :
1)      Dana Paramita: Perbuatan luhur tentang amal secara materi maupun spiritual.
2)      Sila Paramita: Perbuatan luhur tentang kehidupan bersusila.
3)      Kshanti Paramita: Perbuatan luhur yang dapat menahan segala macam penderitaan.
4)      Virya Paramita: Perbuatan luhur mengenai keuletan dan ketabahan.
5)      Dhyana Paramita: Perbuatan luhur mengenai pemusatan pikiran (samadhi/meditasi).
6)      Prajna Paramita: Perbuatan luhur mengenai kebijaksanaan.

Catur Paramita atau Brahma Vihara (empat keadaan batin yang luhur) terdiri dari :
1)      Metta: Cinta kasih universal.
2)      Karuna: Welas asih, kasih sayang, belas kasihan universal.
3)      Mudita: Rasa simpati universal, rasa bahagia atas kebahagiaan makhluk lain.
4)      Upekha: Keseimbangan batin yang tak tergoyahkan.

Ø  Vajrayana
Dalam Vajrayana, terdapat banyak sekali metoda dalam berlatih. Memang banyak sekali praktisi Vajrayana yang memiliki kemampuan luar biasa, namun hal ini bukanlah sesuatu yang mistik. Hal ini sebenarnya merupakan hasil samping dari latihan yang dilakukan, dan hal ini harus diabaikan. Seperti kata sang Buddha, yang dapat menyelamatkan kita pada saat kematian adalah Dharma, bukanlah kesaktian yang kita miliki. Sering kemampuan yang didapat ini menjadi penghalang dalam mencapai tujuan utama kita, yaitu mencapai pencerahan. Hasil samping berupa kemampuan (siddhi) ini sering akan meningkatkan kesombongan (ke-aku-an) kita, yang sebenarnya justru harus kita hilangkan, dan bukan merupakan sesuatu yang harus dibanggakan. Namun sayang sekali, banyak orang yang berpandangan salah, mereka mengagungkan kemampuan gaib yang dimiliki oleh seseorang, dan mengabaikan Dharma yang mulia. Hal ini dapat terjadi karena adanya kebodohan / ketidak tahuan (Moha) yang dimiliki.
Praktek Vajrayana tidak terlepas dari penyapaan mantra, maka sering juga dikenal dengan istilah ajaran mantra rahasia.
Ajaran Vajrayana sering juga disebut dengan Praktek Rahasia, atau Kendaraan Rahasia. Hal ini menggambarkan bahwa ketika seorang praktisi semakin merahasiakan latihannya, maka ia akan semakin mendapatkan kemajuan pencapaian dan berkah dari latihan yang ia lakukan. Semakin ia menceritakan tentang latihannya, maka semakin sedikit berkah yang akan ia peroleh.
Sang Buddha sering berpesan kepada murid-muridNya, bahwa mereka tidak boleh memperlihatkan kemampuan (siddhi) mereka, tanpa suatu tujuan yang mulia. Demikian pula, Para praktisi tinggi Wajrayana tidak pernah menunjukkan kemampuan mereka hanya demi ego, demi ketenaran, demi kebanggaan, ataupun demi materi. Para praktisi tinggi ini biasanya menunjukkan kemampuan pada murid-murid dekat, ataupun pada orang tertentu yang memiliki hubungan karma dengannya, demi Dharma yang mulia, misalnya untuk menghapus selubung kebodohan, ketidak tahuan, kekotoran batin, ataupun karena kurangnya devosi dalam diri murid tersebut.
Mazhab Tantrayana yang berkembang di Tibet sekarang ini pada umumnya adalah Vajrayana, mengenai Vajrayana di Tibet, Guru Rinpoche Padma Sambhava memberikan instruksi yang mencakup enam cara untuk mencapai pembebasan melalui proses pemakaian yang melibatkan Panca Skandha. Ke enam cara tersebut:[14]
§  Pembebasan melalui proses pemakaian
§  Pembebasan melalui proses pendengaran
§  Pembebasan melalui proses ingatan
§  Pembebasan melalui proses penglihatan
§  Pembebasan melalui proses Pengecapan
§  Pembebasan melalui proses sentuhan.

Panca Skandha adalah suatu konsep dalam agama Buddha yang menyatakan bahwa manusia adalah merupakan kombinasi dari kekuatan atau energi fisik dan mental yang selalu dalam keadaan bergerak dan berubah, yang disebut lima kelompok kegemaran, terdiri atas:
1.      Rupaskandha/Rupakkhanda (kegemaran kepada bentuk)
2.      Vedanaskandha/Vedanakkandha (kegemaran kepada perasaan)
3.      Samjnaskhandha/Sannakkhandha (kegemaran kepada pencerapan)
4.      Samskaraskhandha/Sankharakkhandha(kegemaran kepada bentuk-bentuk pikiran)
5.      Vijnanaskhandha/Vinnanakkhandha (kegemaran kepada kesadaran).

Vajrayana memandang alam kosmos (alam semesta) dalam kaitan ajaran untuk mencapai pembebasan. Apabila di Mahayana terdapat konsepsi Trikaya (tiga tubuh Buddha), maka didalam Vajrayana, Buddha bermanifestasi dan berada dimana-mana. Oleh karenanya, Buddha adalah wadah atau badan kosmik yang memiliki enam elemen, yakni : tanah, air, api, angin, angkasa dan kesadaran. Dalam rangkaian yang tersusun sebagai sistim, Vajrayana selain memiliki pandangan filosofis di atas, juga memiliki puja bakti ritual maupun sistim meditasi khusus yang disebut Sadhana yaitu meditasi dengan cara memvisualisasikan dengan mata batin, menyatukan mudra, dharani (mantra) dan mandala.





Daftar Pustaka:
§  Suwarto. T. Buddha Dharma Mahayana. Majelis Buddha Mahayana Indonesia. Jakarta: 1995
§  Honig, J.R. Ilmu Agama. BPK Gunung Mulia. Jakarta: 1997
§  Conze, Edward. Sejarah Singkat Agama Buddha. Oneworld Publication.Cet.12010
§  http://www.walubi.or.id/wacana/wacana_057.shtml
§  http://www.indoforum.org/t96087/#ixzz1pAJ4Xz6S
§  http.vajrayana.wikipedia.com



§  [1] Edward Conze. Sejarah Singkat Agama Buddha. Oneworld Publication. 2010 Hal.94. Cet.1
[2] http://www.walubi.or.id/wacana/wacana_057.shtml
[3] http://www.walubi.or.id/wacana/wacana_057.shtml
[4] Suwarto. T, Buddha Dharma Mahayana. Majelis Buddha Mahayana Indonesia. Jakarta: 1995 hal.439

[5] Suwarto. T, Buddha Dharma Mahayana. Majelis Buddha Mahayana Indonesia. Jakarta: 1995 hal.444
[6] Ibid  hal.444

[7] Honig, J.R. Ilmu Agama. BPK Gunung Mulia, Jakarta: 1997 hal.236
[8] Edward Conze. Sejarah Singkat Agama Buddha. Oneworld Publication. 2010 Hal.97
[9] Ibid. hal.237
[10]http.wikipedia.vajrayana.com
[11] http://www.sckirteh.com/forum/index.php?topic=24.5;wap2
[12] http://www.sckirteh.com/forum/index.php?topic=24.5;wap2
[13] Ibid hal.440
[14]http://www.walubi.or.id/wacana/wacana_057.shtml