A. Agama
buddha di jepang
Berbeda
dengan keadaan di China di mana agama Buddha berawal dari lingkungan keluarga,
di Jepang pengenalan agama Buddha menjangkau bangsa Jepang secara menyeluruh.
Agama Buddha diperkenalkan ke Jepang melalui Kudara di Pakche, salah satu
kerajaan di semenanjung Korea pada tahun 522, dan oleh penguasa politik Jepang
pada waktu itu dimaksudkan sebagai perlindungan bagi negara. Agama baru ini
diterima oleh dinasti Soga yang berkuasa. Sejarah agama Buddha di Jepang
dikelompokkan ke dalam tiga periode,yakni :
- Periode
kedatangan
(abad ke
6-7), mencakup periode Asuka dan Nara
- Periode
nasionalisasi
(abad 9-14),
mencakup periode Aeian dan Kamakura
- Periode
lanjutan (abad
15-20),
mencakup periode Muromachi, Momoyama, dan Edo serta zaman modern.
• Periode kedatangan
Manifestasi
agama Buddha pada periode ini adalah penyesuaian (adaptasi) terhadap
kepercayaan asli bangsa Jepang, yakni agama Shinto. Para bhikṣu pada masa
ini harus dapat melaksanakan upacara keagamaan bersamaan dengan upacara
pemujaan nenek moyang. Secara bertahap agama Buddha dapat mempertahankan diri
dan berkembang di antara rakyat banyak tanpa menyisihkan agama Shinto.Penerapan
ajaran agama Buddha dari China oleh Jepang berdasarkan latar belakang karakter
kebudayaan China, di mana agama Buddha diterima oleh keluarga kaum aristo¬crat.
Kaum aristocrat di Jepang pada waktu itu adalah kaum intelektual. Begitu kaum
aristocrat menerima agama Buddha, maka penyebarannya ke seluruh negeri
berlangsung dengan cepat.
Beberapa penguasa
di Jepang pada zaman kuno menerima agama Buddha sebagai pedoman hidup. Pangeran
Shotoku (574-621), di bawah pemerintahan Ratu Suiko banyak berperan dalam
perkembangan agama Buddha di Jepang, misalnya dengan mendirikan Vihāra Horyuji
dan menulis banyak komentar mengenai ketiga kitab suci agama Buddha.Pada
periode ini tercatat enam aliran agama Buddha yang diperkenalkan dan berkembang
di Jepang.
• Periode
nasionalisasi
Periode ini
diawali dengan munculnya dua aliran agama Buddha di Jepang, yaitu
aliran
Tendai oleh Saicho (797-822) dan aliran Shingon oleh Kukai (774-835). Tujuan
dari para pendiri aliran tersebut adalah agar agama Buddha dapat diterima oleh
rakyat Jepang.Selama pemerintahan Nara (710-884) sesungguhnya agama Buddha
telah menjadi agama negara. Kaisar Shomu secara aktif telah mempropagandakan agama
ini dan membuat patung Buddha yang besar di Nara serta menjadikannya sebagai
pusat kebudayaan nasional. Di tiap propinsi dibangun pagoda-pagoda dan sistem
pembabaran Dhamma yang efektif sesuai dengan keadaan setempat.Sekte Kegon (Huan
Yen) versi Jepang memberikan ideologi Buddhis baru bagi negara. Selama pemerintahan
Nara terdapat 6 sekte yang berkembang di Jepang. Sekte Kagon (sekte Hwaom
Korea) adalah sekte yang mempunyai pandangan dan kepercayaan bahwa semua yang
ada di dalam ini dapat berhubungan erat dengan kosmik yang terwujud di dalam tubuh
Buddha. Pandangan dan kepercayaan ini didasarkan pada Avatamsamkasutra.
Pendidikan dan pemikiran Ritsu terutama lebih ditekankan pada disiplin (vinaya)
serta semata-mata merupakan alternatif akademik. Pada saat penyelamat alam yang
ideal yang diperkenalkan adalah apa
yang
diajarkan Lotus Sutra dan penekanannya pada peranan umat seperti penjelasan
dalam Vimalakitri Sutra. Dengan adanya cara penyelamatan yang ideal ini menjadi
jelas bagi raja bahwa rohaniawan terlalu banyak berperan dan aktif di dalam politik.
Agama Buddha Jepang yang berkarakter Jepang terus berlangsung dan dapat
didengar dalam pendidikan dan pemikiran baru dari masa Huan. Kompleks Vihāra Tendai di
atas pegunungan Hie dikenal sebagai cikal bakal dari agama Buddha di dalam
menyelamatkan keamanan negara.
Aliran
Shingon adalah salah satu bentuk dari aliran Tantra yang diperkenalkan kepada Jepang
oleh Bhikṣu Kukai di awal abad ke-9. Agama Buddha
Shingon menentukan penyatuan dari pemeluknya dengan Buddha (persatuan
Kawula-Gusti) dalam berbagai macam bentuknya.Dalam perkembangan sekte-sekte
Buddhis, Tendai dan Shingon bercampur baur dengan agama Shinto yang nampak
dalam penyatuan pemujaan dewa Shinto dan dewa-dewa dalam agama Buddha, sehingga
terjadi persekutuan pemujaan.
Gerakan dalam
agama Buddha terjadi pada abad ke-10 dengan munculnya kepercayaan
terhadap
Buddha Amitābha. Banyak orang yang memeluk
kepercayaan ini
karena
kesederhanaan ajaran, yakni dengan mengucapkan ”Amitābha Buddha”
secara
berulang-ulang akan terlahir di Tanah Suci (Sukhavati). Kemudian gerakan
lain banyak
muncul pada abad ke-13 karena banyak didorong oleh cita¬-cita umat
awam untuk
mencapai kemurnian dan kesederhanaan ajaran maupun caranya.
Pandangan
ini banyak dianut oleh para petani dan prajurit.
Setelah tahun
1500,agama buddha jepang tidak lagi berjalan mulus. Kekuatan kreatifnya
telah
memudar dan kekuatan politiknya telah terpecah. Nabunaga menghancurkan
kubu tendai
di heizen pada tahun 1571,dan hideyoshi melakukannya pada pusat
shingon
besar di negoro pada tahun 1585.Dibawah pemerintahan tokugawa
(1603-1867),konfusianisme bangkit kembali. Kemudian pada abad ke-18, shintoisme
yang militan
bangkit
kembali.agama budha surut ke belakang layar,organisasi dan aktivitas
para biksu
diawasi pemerintah dengan hati-hati,untuk menjamin pendapatan-pendapatan wihara
dan pada saat yang sama mencegah berkembangnya kehidupan yang independen di
dalamnya.agama budha tenggelam dalam keadaan yang lamban.tetapi tradisi sekte
ini tetap berlanjut.sekte zen menunjukan kegairahan.pada abad ke-17,hakuin
memperkenalkan kehidupan baru kepada sekte rinzai dan sekte ini menganggapnya
sebagai pendiri kedua ; pujangga basho mengembangkan gaya puisi baru.pada tahun
1655,sekte zen yang ketiga,obakhu masuk dari china dan tetap menggunakan
karakter-karakter khas china.tahun 1868 agama budha amat diabaikan dan dalam
waktu singkat sepertinya agama ini akan
musnah.tapi
setelah tahun 1890,pengaruhnya kembali meningkat dan pada tahun
1950,dua
pertiga dari penduduk menganut salah satu sekte utama.adaptasi
terhadap
kehidupan moderen dan terhadap persaingan dengan umat kristen lebih
banyak
terjadi disini dari pada di negara-negara budha lainnya.pada tahun-tahun
terakhir,zen
jepang menarik banyak perhatian di eropa dan amerika,dan penafsir
yang sangat
baik adalah D.T.Suzuki.Pada zaman Kamakura mulai timbul
feodalisme
di Jepang. Aliran-aliran agama Buddha yang tumbuh dalam
suasana
feodalisme tersebut di antaranya adalah Zen yang diperkenankan oleh
Eisai
(1141-1215), Dogen (1200-1253) serta Nichiren yang didirikan oleh
Nichiren
(1222-1282).
•
Perkembangan Nichiren
Pada abad ke-13,
agama Buddha di Jepang menghasilkan seorang pembaharu yakni Bhikṣu Nichiren
(1222-1282). Pemimpin yang memiliki kharisma ini mengajarkan bahwa keselamatan
dapat dicapai dengan mengucapkan kata-kata suci NamaMyohorengekyo
(terpujilah
Sadharmapundarika Sūtra) dan beliau tidak ragu-ragu untuk
mengkritik orang lain. Ramalan Nichiren mengenai bangsa Mongol yang akan menyerang
Jepang menyebabkan sekte ini terkenal di Jepang.Dalam sekte Nichiren terdapat
dua kelompok yang besar.
• Periode
Lanjutan
Dengan berakhirnya
periode Kamakura, maka di Jepang tidak terdapat perkembangan
agama yang
berarti, kecuali meluasnya beberapa aliran.Pada zaman Edo
(1603-1867),
agama Buddha sudah kembali menjadi agama nasional di bawah
perlindungan
Shogun Tokogawa. Pada masa pemerintahan Shogun Tokogawa,
agama Buddha
di Jepang menjadi tangan (alat) dari pemerintah. Vihāra
sering
digunakan sebagai pendataan dan pendaftaran penduduk dan dijadikan salah
satu cara
untuk mencegah penyebaran agama Kristen yang oleh pemerintah
feodal
dianggap sebagai ancaman politik.
Agama Buddha
tidak begitu populer di kalangan masyarakat pada masa pemerintahan Meiji
(1868-1912).
Pada waktu itu, muncul usaha untuk menjadikan Shinto
sebagai
agama negara, yang dilakukan dengan cara memurnikan ajaran Shinto
yang telah
bercampur dengan agama Buddha, dan untuk itu dibutuhkan suatu
penyelesaian.
Cara yang dilakukan antara lain dengan menyita tanah vihāra
dan
membatasi gerak-gerik para bhikṣu.Keadaan tersebut berubah setelah
restorasi Meiji pada tahun 1868, agama Buddha menghadapi saingan dari agama
asli, Shinto. Namun hal itu dinetralisir dengan kebebasan memeluk agama yang
diberikan oleh undang-undang dasar Jepang.
B. Agama Buddha
di Korea
Agama Budha
masuk pertama kali ke Korea terjadi pada tahun 373 SM, ketika raja So-su-rim
dari kerajaan Kokuryo menguasai seluruh belahan utara semenanjung Korea dan
sebagian besar kawasan Mancuria. Agama Budha menjadi agama induk di Korea,
sehingga
kebudayaan
Korea Kuno tidak bisa lepas dari agama Budha. Agama Budha sendiri
mencapai
puncak kejayaan di Korea selama 300 tahun pada masa kerajaan Silla
bersatu yang
didirikan pada tahun 668 SM. Wilayah teritorial kerajaan Silla
bersatu
meluas sampai ke garis yang menghubungkan Pyongyang dan Wong-san, dan
beribukota
di Kyong-ju. Pada masa Silla bersatu, agama Buddha menjadi agama
nasional.
Jika ditinjau dari peninggalan-peninggalan yang masih ada, kerajaan
Silla sangat
unggul dalam arsitektur agama Budha, di samping barang-barang
keramik di
masa kerajaan Kokuryo dan tulisan indah di masa kerajaan Lee.
Agama Budha merupakan
rumus filsafat yang tinggi, karena bertujuan untuk memperoleh
kebersihan
jiwa dengan penolakan nafsu-nafsu duniawi dan menghindari adanya
kebangkitan roh-roh
jahat dan membawa roh-roh suci ke dalam Nirwana. Korea
memiliki
6.700 kuil Budha, termasuk 1.600 candi besar dan kecil. Hampir di
setiap
kompleks candi dan kuil Budha di Korea terdapat sebuah kuil kecil yang
terletak
dekat dengan ruangan utama tempat sembahyang. Lukisan seorang tua yang
berjanggut
putih panjang dengan ditemani seekor harimau jinak menghiasi dinding
kuil kecil
tersebut. Lukisan tersebut mendapat pengaruh dari kepercayaan
Tauisme.
Sebenarnya sejak masuknya agama Budha ke Korea, sangat sedikit
masyarakat
yang mau bersembahyang, untuk itulah maka didirikan kuil kecil yang
dapat
digunakan untuk sembahyang. Karena menurut kepercayaan Tauisme, sembahyang
di Kuil agar
anak laki-laki atau suaminya lulus ujian. Melahirkan anak
laki-laki, menjaga
kesehatan anggota keluarga dan juga untuk menambah anggota
keluarga.
Dengan kepercayaan semacam itu, banyak orang yang mengunjungi candi
dan mampir
ke kuil kecil untuk sembahyang.
Terdapat
sekitar 29 juta orang beragama Buddha di Korea. Hal ini bearti bahwa agama
Budha merupakan agama terbesar di Korea, terbukti menurut penanggalan imlek,
yakni
tanggal 8
bulan keempat diperinagti hari lahirnya Budha Gautama.
Agama Budha di
Korea sendiri beraliran Mahayana. Rakyat Korea dikenal sangat cinta
terhadap kesenian
dan selalu berusaha untuk memahirkannya. Oleh karena itu,
peninggalan-peninggalan
kebudayaan agama Buddha memiliki sifat kesenian yang
tinggi dan
khas. Di antara peninggalan-peninggalan kebudayaaan agama Buddha di
Korea selain
arsitektur Buddha, ukiran patung-patung Buddha merupakan ciptaan
yang sangat
bermutu. Untuk itu, sampai sekarang rakyat Korea sangat
membanggakan
seni itu kepada masyarakat dunia Patung-patung Buddha
mencapai
puncak keindahannya pada masa Silla bersatu. Salah satu yang menjadi
kebanggaan
rakyat Korea adalah patung-patung batu dari batu granit yang
terletak di
gua kuil suci Sok-Gul-am di puncak gunung To-ham di kota Kyong-ju,
ibu kota
kerajaan Silla bersatu. Patung yang terbesar dan indah dan mengarah ke
timur
didirikan pada tahun 752. Rakyat menganggap patung tersebut adalah patung
yang paling
unggul di Korea. Pada tahun 1995, UNESCO menetapkan patung tersebut
sebagi salah
satu peninggalan kebudayaan manusia. Bahan-bahan yang digunakan
untuk
patung-patung Buddha ukuran besar di Korea adalah besi, perunggu, kayu
yang disepuh
emas, dan emas murni, di samping batu besar.Sementaraitu,
patung-patung
ukuran kecil dibuat dari perunggu, sepuhan emas, emas murni, atau
tanah liat
mengkilat.
Selain agama
Budha, masyarakat Korea khususnya para ibu rumah tangga selalu sembahyang di
hadapkan pada semangkuk air yang berisi air jernih yang diletakan di tempat
suci di belakang rumah mereka. Setiap pagi hari, Ibu meletakan semangkuk air di
belakang
rumah dan bersembahyang dalam keadaa yang masih sepi. Mereka
memanjatkan
doa agar anggota keluarga di berikan kesehatan dan keselamatan
serta
keberhasilan suami dan anak-anaknya dalam tugasnya masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar