a.
Tilakhana
1.
Anicca (ketidak-kekalan)
Alam semesta ini
mengalami banyak perubahan yang tidak ada putus-putusnya. Tidak ada satupun yang
tetap sama untuk selama satu saat yang berturut-turut. Realitas alam semesta
ini bukanlah merupakan suatu kolam yang tenang, akan tetapi merupakan suatu
arus/aliran yang mengalir deras.
Sejak saat
permulaan terbentuknya sesuatu, kehancuran telah membayanginya dan dapat
dipastikan bahwa suatu saat akan hancur kembali tidak berbekas. Rumah yang baru
akan menjadi tua dari hari ke hari, sampai pada suatu saat dirobohkan dan tidak
lagi bekas-bekasnya yang tertinggal. Setiap denyutan jantung membawa kita lebih
dekat kepada kematian.
Ketidak-kekalan
yang diajarkan dalam agama Buddha ini bukanlah suatu yang direka-reka atau yang
dibuat-buat, akan tetapi merupakan kenyataan, fakta, yang dirasakan dan dialami
dengan jelas sekali dalam kehidupan kita sehari-hari.
2.
Dukkha (derita
jasmani-rohani)
Kata dukkha
terdiri dari DU, SUKAR dan KHA, yang artinya “menanggung/ memikul”, dukkah
berarti memikul sukar atau menanggung sukar, atau bisa diterjemahkan dengan
derita.
Ajaran agama
Budhha bukan tidak mengakui adanya “kebahagiaan” atau “sukha”, karena yang
dinamakan kebahagiaan oleh orang pada umumnya adalah tidak kekal, akan berubah
menjadi dukkha.
Di dalam kitab
Majjhima-Nikaya 82: Rtthapala-Sutta terdapat empat kalimat yang mencerminkan
makna dukkha, yaitu:
·
Upaniyati loko
addhuvo’ti: Kehidupan dalam alam maupun juga adalah tidak kokoh/kuat.
·
Attana loko
anabhissaro’ti: kehidupan dalam alam maupun juga tidak memiliki pernaungan dan
tidak ada perlindungan
·
Assako loko sabbang
pahaya gamani yan’ti: Kehidupan dalam alam manapun juga adalah tidak memiliki
suatu apapun dan sesuatunya akan ditinggalkan
serta kehidupan berlangsung terus.
·
Kehidupan dalam alam
maupun juga adalah tidak lengkap, tidak terpuaskan dan diperbudak oleh hawa nafsu.
3.
Anatta (tidak ada inti
yang kekal/tanpa aku))
Rohani (nama)
adalah tidak kekal, karena muncul, berubah, lenyap diluar kemauan kita.
Demikian jasmani (Rupa) itupun tidak kekal, karena muncul, berubah, lenyap,
diluar kemampuan kita.
Tidak dapat kita
mengatakan, jasmaniku harus begini atau jangan begitu. Jasmani-Rohani tidak
dapat dikuasai oleh siapapun juga. Karena tanpa pemilik atau tanpa majikan dan
berubah-ubah di luar kemauan kita.
Segala sesuatu
di alam semesta ini tiada satupun yang dapat disebut: kepunyaan-ku, aku,
diriku, maka itu segala sesuatu di alam semesta ini harus dipandang: “semua
yang bersyarat dan yang tidak bersyarat adalah tanpa diri yang kekal dan
terpisah”
b.
Paticca-Samuppada
Setiap kejadian
selalu bergantung pada kejadian lain yang mendahuluinya; dan selalu menimbulkan
kejadian lain yang mengikutinya. Bagaikan
sebuah gelombang yang berasal dari gelombang yang mendahuluinya, dan
menimbulkan gelombang yang mengikutinya, demikianlah pula arus sebab akibat
(rangkaian kejadian) ini mengalir terus tidak henti-hentinya.
Segala sesuatu
yang terdapat di alam semesta ini dapat dikembalikan ke dalam rangkaian sebab
akibat seperti di atas. Tak sesuatu yang timbul tanpa bergantung kepada sebab
yang mendahuluinya; dan tidak ada sesuatu yang timbul akibat yang mengikutinya.
Apabila sesuatu berhenti (padam), maka berhenti pula rangkaian kejadian yang
mengikutinya.
Di bawah ini
dijelaskan tentang 12 mata rantai (Nidana) , sebagai berikut:
1.
Avijja (ketidaktahuan)
2.
Sankhara (bentuk-bentuk
Kamma)
3.
Vinnana (kesadaran)
4.
Nama Rupa
(rohani-jasmani)
5.
Salayatana (enam
landasan indriya)
6.
Phassa
(kontak/kesan-kesan)
7.
Vedana (perasaan)
8.
Tanha
(keinginan/kehausan/kerinduan)
9.
Upadana
(ikatan/kemelekatan)
10.
Bhava (arus penjeleman)
11.
Jati (kelahiran)
12.
Jaramarana (kelapukan,
hari tua, kematian)
c.
Tumibal Lahir
Tumibal lahir
(patisandhi/punabbava) bukan berarti pemindahan atau penjelmaan. Dalam agama
Buddha tidak dikenal pemindahan atau penjelmaan dari nama (bathin/jiwa) setelah
seseorang meninggal dunia. Akan tetapi dikenal istilah “penerusan” dari nama
(bathin/jiwa).
Ketika seseorang
akan meninggal dunia, kesadaran ajal (cuti-citta) mendekati kepadaman dan
didorong oleh kekuataun-kekuatan kamma. Kemudian kesadaran ajal.
2.
NIBBANA
Nibbana adalah
sebutan bahasa Pali dan Nirvana adalah bahasa sangskerta. Kata Nibbana berasal
dari kata Nirvana, yang terbagi atas dua kata yaitu: NIR artinya Padam dan VANA
dari akar kata VA artinya Meniup. Jadi kata Nibana artinya Meniup Padam, dan
apakah yang ditiup menjadi padam? Yang padam ditiup adalah tidak lain Tanha atau Tanhakkaya atau Asavakkaya (nafsu
keinginan).
Nibbana adalah kebahagiaan tertinggi, suatu
keadaan kebahagiaan abadi yang luar biasa. Kebahagiaan ini tidak dapat dialami
dengan memanjakan indera, tetapi dengan menenangkannya. Nibbana adalah tujuan
akhir ajaran agama Buddha.
Jadi Nibbana atau Nirvana itu dibagi dua bagian yaitu:
- Nibbana yang masih mengandung sisa-sisa kelima kelompok kehidupan yang masih ada dan ini dicapai dalam kehidupan di dunia ini atau dalam kata Pali disebut SA UPADISESA NIBBANA.
- Nibbana yang tidak mengandung sisa-sisa kelima kelompok kehidupan, yang dicapai setelah meninggal dunia atau dalam kata Pali disebut AN UPADISESA NIBBANA.
Pada saat mencapai nibbana segala sesuatu
tidak dilahirkan, tidak ada asal mulanya. Tidak terbentuk, tidak diciptakan.
Karena itu bilamana disana tidak ada sesuatu yang dilahirkan, tidak ada asal
mulanya, karena itu tentu tidak perlu dan tidak mungkin menghindari kelahiran,
asal mula dan bentuk pencipta. Karena tidak ada lagi bentuk, dan tidak ada lagi
sesuatu yang diciptakan, maka tidak perlu dan tidak mungkin lagi menghindari
kelahiran, asal mula dan bentuk pencipta.
Seseorang harus belajar untuk tidak melekat
dari semua hal keduniawian. Jika ada kemelekatan terhadap seseorang atau
sesuatu atau jika ada keengganan terhadap seseorang atau sesuatu, seseorang
tidak akan pernah mencapai nibbana karena nibbana melampaui semua kemelekatan
dan keengganan. Suka dan tidak suka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar